Position of Deputy Minister in Indonesia (Comparative Study of Good Governance And Fikih Siyāsah)

Abstract

Indonesia is a country that adheres to a democratic system, the administration of its territory and its status as a nation-state as well as a state of law. As a constitutional state, Indonesia has many legal products ratified by legislators, one of which is the Deputy Minister. Deputy Ministers are regulated in law (UU) Number 39 of 2008 concerning State Ministries. The objective of Deputy Minister Position is to accelerate the performance of ministries that have excess workloads, by placing career officials who are competent in their fields. Although legally the position of Deputy Minister is valid, in the bureaucratic structure of the Indonesian government, this position is considered ineffective and inefficient. The existence of Deputy Ministers tends to be inefficient in the state budget, prolonging the bureaucratic chain, and often becoming a political bargaining power. This article is a normative research of literature study. Article writing is done through the method of collecting data from library sources as well as reporting in the mass media to written works. The results of the research show that Deputy Ministers in Indonesia are not rigidly regulated in laws and regulations. Based on investigations, the Deputy Minister’s diction is only found in Law Number 39 of 2008 concerning State Ministries, Presidential Regulation (Perpres) Number 60 of 2012 concerning Deputy Ministers, along with the amendment regulations. In the study of Islamic law and constitutional practice in the classical period, a caliph’s assistant or right-hand man was called a wazīr. The wazīr was authorized to appoint and dismiss regional chiefs, judges, and other government employees. However, in Indonesia, the issue related to the position of Deputy Minister becomes hot and sometimes invites post-election controversies or cabinet reshuffling. The best way to deal with this problem is to emphasize the redaction in Article 10 of Law Number 39 of 2008 concerning Deputy Ministers, which is regarding “workload that requires special handling”.


Keywords: position, deputy minister, good governance, Fikih Siyāsah

References
[1] Starke JG. Pengantar Hukum Internasional (Edisi Kesepuluh). Jakarta: Sinar Grafika; 1989.

[2] Sukanto S. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press; 1986.

[3] Anggraini G. Islam dan Agraria Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam Dalam Merombak Ketidakadilan Agraria. Yogyakarta: STPN Press; 2016.

[4] namun pejabat atau subyek yang memegang jabatan (ambtsdrager) dapat berganti. Lihat Ridwan HR. JS tetap. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Persada; 2006.

[5] Manan B. Lembaga Kepresidenan. FH UII Press; 2003.

[6] Lihat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. n.d.

[7] Lihat Risalah sidang Perkara Nomor 80/PUU-XVII/2019 Perihal Pengujian Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tertanggal Kamis, 12 Maret 2020 (Sekretariat Jenderal MK R. n.d.

[8] Nomor LR. 79/PUU-IX/2011 Perihal Pengujian UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tertanggal Kamis, 1 Desember 2011. Sekretariat Jenderal MK RI; n.d.

[9] Diakses darihttps://nasional.kompas.com/read/2022/06/15/16064461/24-menteriwamen- adalah-politikus-nyaris-setengah-kabinet-jokowi-maruf, pada 10 Mei 2023 n.d.

[10] Diakses darihttps://setkab.go.id/kabinet-kerja/, pada 11 Mei 2023. n.d.

[11] Khalaff AW. Politik Hukum Islam, terjemahan Zainudin Adnan, cetakan 2. Yogyakarta: Tiara Wacana; 2005.

[12] Zulfan Efendi ML dan. Corak Fiqh Siyasah Dalam Pemikiran Raja Ali Haji (1808-n73). Bintan: Sultan Abdurrahman Press; 2019.

[13] Riris Katharina dari Badan Keahlian DPR RI dalam Jurnal Politica Vol. 2, No. 2 (2011) menulis karya ilmiah yang berjudul, “Posisi Wakil Menteri dan Implikasinya terhadap Birokrasi di Indonesia”. n.d.

[14] Novira Maharani Sukma dan Retno Saraswati, menulis karya ilmiah yang berjudul, “Kedudukan Wakil Menteri dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 79/PUU-IX/2011”, pada Jurnal Law Reform, Vol. 8, No. 2 n.d.

[15] Enny Agustina dalam Jurnal Hukum Media Bhakti, Vol. 2, No. 1 (2018), menulis karya ilmiahnya dengan judul, “Kewenangan Wakil Menteri di Indonesia Ditinjau dari Hukum Administrasi Negara”. n.d.

[16] Nisha Floretta Elfani menulis karya ilmiah yang berjudul, “Problematik Yuridis Kewenangan Wakil Menteri di Indonesia”, yang terbit pada Jurnal Hukum Novum, Vol. 4, No. 2 (2017). n.d.

[17] Zaki Ulya dalam Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 13, No. 2 (2016), menulis karya ilmiahnya dengan judul, “Kedudukan Wakil Menteri dalam Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negara menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945”. n.d.

[18] Albow M. Birokrasi, terjemahan Rusli Karim dan Totok Daryanto, Cet. 3. Yogyakarta: Tiar Wacana; 1996.

[19] Neil J. Smelser HH dan. Perubahan Sosial dan Modernitas, terj. Koentjaraningrat. Berkeley: University Of California Press; 1922.

[20] Sekretariat jenderal selaku unsur pembantu pimpinan, inspektorat jenderal selaku unsur pengawas, direktorat jenderal selaku unsur pelaksana tugas pokok, serta ditambah dengan unsur pendukung. n.d.

[21] Dkk DJ. emen Perkantoran: Efektif, Efesien, da Profesional, Cet. 2. Bandung: Alfabeta; 2013.

[22] Deretan pimpinan perusahaan plat merah milik pemerintah yang diduduki oleh kader partai politik antara lain Lukman Edy (PKB/PT. Hutama Karya), Arif Budimanta (PDI-P/PT. Bank Mandiri. Pataniari Siahaan (PDI-P/PT. BNI). Dwi Ria Latifa (PDI-P/PT BRI), Basukiinfluencer yang menjabat sebagai pimpinan BUMN. Lihathttps://katadata.co.id/pingitaria/indepth/5ef1719c59e12/barisan-kaderpartai- di-kursi-empuk-bumn, diakses pada tanggal 5 Janurai 2023. n.d.

[23] Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 disebutkan bahwa menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cet.8 ( Jakarta: Kepaniteraan dan Sekjen Mahkamah Konstitu n.d.

[24] Sedarmayanti. Good Governance “Kepemerintahan yang Baik” dan Good Corporate Governance “Tata Kelola Perusahaan yang Baik. 3rd ed. Bandung: Mandar Maju; 2012.

[25] Muhammadong. GoodGovernance dalam Perspektif Hukum Islam, Cet. 1. T.K.: Edukasi Mitra Grafika; 2017.

[26] Ahmad ZA. Ilmu Politik Islam Komsepsi Politik Islam dan Ideologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang; 1977.

[27] Farkhani. Hukum Tata Negara Pergantian Kepala Negara Persepektif Siyasah Islamiyah dan Kostitusi Negara Republik Indonesia. Solo: Pustaka Iltizam; 2016.

[28] Khalaff AW. Politik Hukum Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana; 1994.

[29] Muhammad April R dan. Pengantar Ilmu Politik Dalam Persepektif Barat dan Islam. Depok: Raja Grafindo Persada; 2019.

[30] Secara garis besarnya sejarah Islam dapat dibagi menjadi tiga periode besar yaitu periode klasik (650-1250 M), periode pertengahan (1250-1800 M), dan periode modern (1800 M dan seterusnya). Lihat Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran. Jakarta: Bulan Bintang; 2003.

[31] Sukardja A. Hukum Tata Negaradan Hukum Administrasi Negara Dalam Persepektif Fikih Siyasah, Cet. 2. Jakarta: Bulan Bintang; n.d.

[32] Iqbal M. Fiqh Siyasah : Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Prenada Media Grub; 2014.